TUGAS INDIVIDU
Penulis :Fauzzia Umron
PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN DI INDONESIA
A.
Gambaran Umum
Permasalahan Pendidikan Indonesia
Pendidikan merupakan suatu diskursus yang
terpenting dan menempati posisis sentral dalam bidang kajian sosiologi. Dalam
sosiologi pendidikan inilah kemudian dibahas berbagai masalah tentang
pendidikan dengan tujuan mengendalikan proses pendidikan untuk
mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik (Nasution, 1983). Pendidikan
bukan hanya terpusat pada instansi pendidikan saja melainkan juga pada tri
pusat pendidikan yaitu pendidikan dalam keluarga, pendidikan dilembaga
pendidikan formal (sekolah dan kampus/universitas) serta pendidikan di
masyarakat.[1]
Namun, dalam makalah ini kami lebih
mengutamakan pengkajian lembaga pendidikan formal.Hal ini dimaksudkan agar
tidak terjadi pelebaran pokok pembahasan, selain itu pada umumnya lembaga
pendidikan formal memiliki peran terbesar dalam pembentukan karakter pelajar
hal ini disebabkan oleh banyaknya waktu yang dihabiskan pelajar dalam kehidupan
sehari-harinya.
Kenakalan remaja (jevenile delinquency)
bukanlah murni disebabkan oleh kesalahan pelajar atau siswa, melainkan
kenakalan remaja muncul dari permasalah multidimensional dalam diri pendidikan
itu sendiri. Asumsi dasarnya adalah individu merupakan representasi dari
masyarakat, sebagaimana konsep fakta sosial Durkheim: “Fakta sosial adalah
seluruh cara bertindak, baku maupun tidak, yang dapat berlaku pada diri
individu sebagaimana sebuah paksaan ekternal; atau bisa dikatakan fakta sosial
adalah keseluruhan cara bertindak yang umum dipakai suatu masyarakat, dan pada
saat yang sama keberadaannya terlepas dari manifestasi-manifestasi individu.”
(Durkheim, 1895/1982:13).[2]
Dari pernyataan Durkheim itu dapat kita tarik
kesimpulan bahwa, tejadinya menyimpangan kepribadian pelajar dari
norma-norma masyarakat tersebut bersumber dari pengaruh eksternal yang terjadi
diluar individu (pranata, institusi, sosial dan lain sebagainya). Sehingga
dapat dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi merupakan
hanyalah akibat dan bukanlah pokok penyebab atau persoalan.Sehingga dalam
menganalisis pendididkan diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam
masyarakat.
B.
Munculnya
Masalah Pendidikan Yang Mendasar
berbagai macam penyebab munculnya masalah
pendidikan yang mendasar didalam pendidikan indonesia antara lain:
1.
Minimnya Sarana
dan Prasarana Penunjang Pendidikan
Sampai saat ini 88,8 persen sekolah di
indonesia mulai SD hingga SMA/SMK, belum melewati mutu standar pelayanan
minimal.[3]
Pada pendidikan dasar hingga kini layanan pendidikan mulai dari guru, bangunan
sekolah, fasilitas perpustakaan dan laboratorium, buku-buku pelajaran dan pengayaan,
serta buku referensi masih minim. Pada jenjang Sekolah Dasar (SD) baru 3,29%
dari 146.904 yang masuk kategori sekolah standar nasional, 51,71% katekori
standar minimal dan 44,84% dibawah standar pendidikan minimal. pada jenjang SMP
28,41% dari 34.185, 44,45% berstandar minimal dan 26% tidak memenuhi standar
pelayanan minimal. Hal tersebut membuktikan bahwa pendidikan di indonesia tidak
terpenuhi sarana prasarananya.
Dari data diatas menggabarkan bagaimana lembaga
pendidikan kurang memfasilitasi bakat dan minat siswa dalam mengembangkan
diri.Akibat tidak tersedianya fasilitas tersebut para pelajar mengalokasikan
kelebihan energinya tersebut untuk hal-hal yang negatif, misalnya tawuran antar
pelajar, kelompok-kelompok kriminal yang umumnya meresahkan masyarakat.
Setidaknya ada dua dampak dari kurangnya sarana dan prasaranan pendidikan
yaitu:
Ø Rendahnya
Mutu Output Pendidikan
Kurangnya
sarana pendidikan ini berdampak pada rendahnya output pendidikan itu sendiri,
sebab di era globalisasi ini diperlukan transormasi pendidikan teknologi yang
membutuhkan sarana dan prasaranan yang sangat kompleks agar dapat bersaing
dengan pasar global. Minimnya sarana ini menyebabkan generasi muda hanya
belajar secara teoretis tanpa wujud yang praksis sehingga pelajar hanya belajar
dalam angan-angan yang keluar dari realitas yang sesungguhnya.
Ironisnya
pemerintah kurang mendukung bahkan cenderung membiarkan tercukupinya fasilitas
pendidikan.Kerusakan sekolah, laboratorium, dan ketiadaan fasilitas penunjang
pendidikan lainnya menyebabkan gagalnya sosialisasi pendidikan berbasis
teknologi ini.Kerusakan sekolah merupakan masalah klasik yang cenderung
dibiarkan berlarut-larut dan celakanya lagi hal ini hanya sekedar menjadi
permainan politik disaat pemilu saja.
Ø Kenakalan
Remaja dan Perilaku yang Menyimpang
Secara
psikologis pelajar adalah masa transisi dari remaja menuju kedewasaan diamana
didalamnya terjadi gejolak-gejolak batin dan luapan ekspresi kretivitas yang
sagat tinggi. Jika lupan-luapan dan pencarian jati diri ini tidak terpenuhi
maka mereka akan cenderung mengekspresikanya dalam bentuk kekecewaan-kekecawaan
dalam bentuk negatif. Sarana pendidikan yang dimaksud disini, bukan hanya
laboratorium, perpustakaan, ataupun peralatan edukatif saja, tetapi juga
sarana-sarana olahraga ataupun kesenian untuk mengekspresikan diri mereka.
Kehidupan
remaja diera modern ini tentulah berbeda dengan kehidupan pada generasi
sebelumnya, pelajar saat ini membutuhkan ruang gerak dalampengembangaan
kematangan emosi misalanya saja grup band, sepak bola, basket, otimotif dan
sebagainya. Jika, hal ini tidak dipenuhi ataupun dihambat maka akan cenderung
membuat perkumpulan-perkumpulaan yang cenderung menyalahi norma.
Di indonesia
sendiri masih banyak sekolah ataupun kampus yang tidak memiliki sarana
penyaluran emosi ini, di UIN Sunan Kalijaga misalnya hanya terdapat tenis
indor, lapangan futsal itupun tersedia digunakan seara inklusif untuk
ornag-orang tertentu saja.
2.
Kontradiksi-Kontradiksi
dan Kakunya Kurikulum Pendidikan
Dalam rangka mengatur dan mengendalikan
pendidikan yang sangat kompleks dibutuhkan suatu batasan dan aturan dalam
mengawasi mutu pendidikan suatu negara.Indonesia sebagai negara yang sedang
berkembang membutuhkan data yang tepat mengenai tingkat mutu pendidikan sebagai
alat untuk merancang arah pembangunan bangsa.Sehingga pemerintah berusaha
meningkatkan mutu pendidikan dengan menerapkan standar-standar pendidikan agar
dapat mempermudah negara dalam melakukan pembangunan.
Kurikulum pendidikan merupakan salah satu
realisasi penjamin berjalannya mutu pendidikan.kurikulum merupakan program dan
isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi
pengetahuan antar generasi dalam masyarakat.[4]
Maksud baik pemerintah ini ternyata kurang sesuai dengan kultur dan
perkembangan zaman, dikarenakan kurikulum yang sekarang dijalankan masih
berbasis pada langkah teoretis dan cenderung mengesampingkan nilai praksis
pendidikan. Kurikulum yang sekarang digunakan dalam proses belajar tidak jauh
berbeda dengan zaman penjajahan belanda, dimana proses pendidikannya hanyalah
dalam langkah teoretis dan cenderung mencetak tenaga kerja.
Standar pendidikan berupa Ujian Nasional (UN)
dengan maksud menyamaratakan nilai kemajuan dari sabang sampai merauke ini
justru menimbulkan ketidak adilan baru, di daerah timur Indonesia yang sangat
jauh dari standar minimal itu dipaksa mengikuti standar jakarta ataupun jawa
yang notabene lebih memiliki sarana pendidikan. Belum lagi
kecurangan-kecurangan pendidikan dalam ujian nasional.Penentuan kelulusan yang
hanya ditentukan waktu kurang dari satu minggu mendapat banyak kecaman dari
masyarakat, dengan alasan pemaksaan nilai tersebut bukanlah ukuran kemajuan
pendidikan justru menimbulkan tekanan batin dan kecurangan-kecurangan dalam
pendidikan.
Kurikulum pendidikan indonesia kurang
mengajarkan sikap kritis dan kreatif dan cenderung bersifat mendoktrin pelajar.
Selain itu kurikulumnya lebih bersifat mencetak pekerja daripada menumbuhkan
pembuat pekerjaan (interprener). Hal itu dibuktikan dengan superioritas guru
terhadap pelajar, sehingga proses belajar bukannya transformasi melainkan
doktrinasi.
Dampak yang paling nyata dari rancun dan
kakunya kurikulum pendidikan ini adalah pengangguran terdidik yang semakin
meningkat. Menurut data, hal ini mengindikasikan bukanlah transformasi ilmu
melainkan doktrianasi ilmu
3.
Pendeskreditan
Moralitas
Pendidikan moralitas merupakan suatu hal yang
sangat pendting dalam mendukung pembanguanan suatu bangsa sebagai alat untuk
mengimbangi globalitas dan degradasi norma dalam masyarakat. Bahkan Durkheim
mengkaji moralitas sebagai kajian pokoknya. Moralitas tentunya tidak akan
hilang dari masyarakat melainkan moralitas hanya berubah dari suatu bentuk
kebentuk lainnya, namun jika bentuk tersebut kacau maka akan cenderung menghambat
perkembangan masyarakat.
Dalam perjalanannya banyak kasus moralitas
dalam pendidikan indonesia, kasus kekerasan iini tidak hanya dilakukan sesama
murid ironisnya guru juga melakukan kekerasan secara fisik kepada murid
sebaimana diberitakan dimedia massa. Tentunya kekerasan ini mengganggu
perkembangan secara psikologis pelajar dan mendorong legalisasi kriminalitas
dan kekerasan kepada siswa yang.Misalnya saja kasus IPDN, dengan alasan
meningkatkan disiplin senior diberi kewenangan untuk menyiksa juniornya yang
telah menyebabkan banyak hilangnya nyawa seperti klif muntu.Sehingga pendidikan
moral, baik menggunakan instrumen agama ataupun sosialisasi moralitas seperti
menanamkan sifat disiplin, jujur, kreatif, dan sebagainya secara partisipatif
sangat diperlukan.
4.
Liberalisasi
Pendidikan
Jika, kita melihat sejarah kebelakang,
sebenarnya liberalisme merupakan tahap perkembangan lanjut dari penjajahan
negara-negara maju kepada negara dunia ketiga. Dalam sejarah domonasi
eksploitasi ini dibagi dalam tiga fase. Fase pertama disebut dengan masa
kolonialisme yang ditandai dengan ekspansi secara fisik kapitalisme di eropa
untuk memastikan perolehan bahan baku. Fase kedua disebut masa neokolonialisme
dimana penjajah tidak lagi mencengkram secara fisik melainkan secara substantif
melalui teori dan proses perubahan sosial, yaitu dengan mendekte atau
mengintervensi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang cenderung merugikan
negara bekas koloni. Fase yang ketiga adalah masa liberalisasi yaitu dengan
memberlakukan perdagangan bebas dalam lingkup global tanpa melihat kondisi
negara berkembang yang masih buta teknologi, sehingga liberalisasi cenderung
menguntungkan negara-negara maju.Perkawinan antara globalisasi dan liberalisasi
ini menimbulkan monopoli-monopoli perusahan besar TNC (Trans Nasional
Coorporation) TMC (Trans Multinational Coorporations).
Ironisnya bukan hanya ekonomi saja yang
mengalami liberalisasi, kesehatan bahkan pendidikan tidak luput dari
liberalisasi yang menjurus pada komersialisasi pendidikan.Dengan landasan
mengikuti “Konsesus Washington” pemerintah membiarkan dan melepas tanggung
jawab sebagai penjamin hak memperoleh pendidikan sebagaimana yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Bentuk pelepasan tanggung jawab ini dapat
dilihat dalam peraturan presiden 1ndonesia no 77 tahun 2007, tentang Daftar
Bidang Usaha yang Tertup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan
Dibidang Penanaman Modal atau biasa disebut BHP pendidikan (Badan Hukum
Pendidikan). Dalam peraturan disebutkan bahwa pendidikan dasar, menengah,
pensisikan tinggi dan pendidikan nornformal dapat dimasuki oleh modal asing
dengan batasan kepemilikan modal maksimal 49 persen. Ini indikasi jelas bahwa
telah terjadi komersialisasi pendidikan sebagai komunitas dagang atas nama
liberalisasi.[5]Liberalisasi
pendidikan tanpa melihat kondisi objektif masyarakat indonesia yang sebagaian
besar tidak miskin ini, justru menjerumuskan rakyat kepada kebodohan.
Pendidikan tak ubahnya menjadi sarana mobilisasi dalam merebutkan kekayaan dan
mempertahankan status quo bagi orang-orang yang kaya.Akibat liberalisasi
pendidikan ini tentunya rakyat miskin tidak mampu membiyayai pendidikan,
sehingga dapat dikatan liberalisasi dan sahamisasi pendidikan ini adalah suatu
bentuk kebijakan pembodohan massal terhadap rakyat. Lalu mau dikemanakan
masyarakat miskin jika pendidikan semakin mahal?.
I.
Wacana
Reformasi Pendidikan
Reformasi pendidikan merupakan upaya dalam
memperbaiki dan mengembalikan fungsi pendidikan sebagai mestinya. Jika
pendidikan tidak segara direformasikan maka akan memperburuk kualitas
pendidikan dan akhirnya dapat menyebabkan terbengkalainya pembangunan. Untuk
mereformasi pendidikan diperlukan suatu sistem yang kritis konstruktif,
terbuka, dan emansipatif. Pendidikan kritis merupakan solusi terbaik
dalam memperbaiki pendidikan, lalu kemudian timbul pertanyaan kenapa harus
pendidikan kritis! karena pendidikan kritis bertujuan untuk mengaitkan antara
teori dan praksis serta memanusiakan manusia.
Dalam hal ini tentunya kita tidak boleh
terjebak pada idiologi marxisme, dalam mengkonstruksi pendidikan kritis kita
harus membebaskan diri dari segala kepentingan, dan lebih mengutamakan
kesejahteraan bersama.
C.
Solusi Dalam
Memperbaiki Permasalahan Pendidikan saat ini
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan dalam memperbaiki
anomali-anomali pendidikan ini antaralain:
·
Meningkatkan Sarana dan Prasarana Pendidikan
Dalam rangka meningkatkan output pendidikan
tentunya kita harus menaikan cost (harga), menaikkan harga disini maksudnya
adalah meningkatkan sarana dan prasarana penunjang pendidikan. Adapun sarana
tersebut meliputi sarana fisik dan non fisik.
Ø Sarana fisik
Pemenuhan
sarana fisik sekolahan ini meliputi pembanguan gedung sekolahan, laboratorium,
perpustakaan, sarana-sarana olah raga, dan fsilitas pendukung lainnya.Dalam hal
ini tentunya pemerintah memegang tanggung jawab yang besar dalam pemenuhan ini,
karena pemerintah berkepentingan dalam memajukan pembangunan nasiaonal. Jika
sarana belajar ini telah terpenuhi tentunya akan semakin memudahkan transformasi
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ø Sarana non
fisik
Sarana non
fisik ini diibaratkan soft ware dalam komputer, jika soft ware ini dapat
mengoprasikan perangkat komputer dengan baik maka pekerjaan akan cepat selesai.
Begitu juga dalam pendidikan jika sistem dan pengajarnya bermutu maka akan
mempercepat pembangunan nasional. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:
o
Peningkatan kualitas guru
Kualitas guru
harus ditekankan demi berjalannya pendidikan itu sendiri, tugas guru adalah
merangsang kreativitas dan memberi pengajaran secara fleksibel, artinya
berkedudukan seperti siswa yang belajar tidak ada patron client.Peningkatan
mutu ini bukan hanya pada intelektual guru saja, melainkan juga mengembangkan
psikologis guru itu sendiri misalnya dengan memahami karakteristik siswa,
psikologi perkembangan dan sebagainya.
Dengan adanya
peningkatan ini tentunnya akan berdampak pada membaiknya output pendidikan.
Dikarenakan guru dapat menempatkan dirinya sebagaimana mestinya dan bersifat
fleksibel.Kenakalan remaja biasanya terjadi justru karena prilaku guru itu
sendiri misalnya melakukan hukuman fisik kepada siswa ataupun penekanan
psikologis.
o
Pembentukan lembaga studi mandiri
Pembentukan
lembaga studi mandiri ini berfungsi sebagai wadah pengembangan kpribadian
siswa.Di kampus UIN misalnya jurun sosiologi belum memiliki lembaga penelitian
dan lembaga diskusi mahasiswa, adapun lembaga diskusi resminya telah lama mati
karena tidak adanya regenerasi yang baik. Jika lembaga studi ini dapat dibentuk
tentunnya akan memperbaiki kualitas fakultas maupun menambah pengalaman
mahasiswa.
·
Reformasi Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan jiwa dari lembaga
pendidikan, jika dalam kurikulum terdapat banyak penyimpangan dan
kontradiksi-kontradiksi tentunya akan merusak citra pendidikan itu sendiri.
Pengembangan kurikulum diharuskan sesuai dengan kultur masyarakat artinya tidak
begitu saja menelan mentah-mentah teori pendidikan barat kedalam pendidikan
indonesia. Negeri jepang misalnya walaupun mempelajari bahan ajaran Barat namun
mereka menyesuaikan dengan kultur dalam masyarakat.
Dalam kurikulum ini harusnya mengutamakan
keadilan dan kesetaraan, tidak ada pengelompokan berdasarkan suku, agama,
maupun golongan-golongan. Pendidikan merupakan hak dasar bagi masyarakat
sebgaimana diamanatkan oleh UUD 1945, jadi dalam masalah biaya tentunya negara
mempunyai kewajiban dalam pendanaan pendidikan. Anggaran Perencanaan Belanja
Negara 20% untuk pendidikan harus diawasi dan direalisasikan perwujudannya
sehingga bukan hanya menjadi wacana politik saja.
·
Mewujudkan pendidikan inklusif dan anti
diskriminasi
Pendidikan yang saat ini masih terlibat dengan
berbagai diskriminasi dan ekskluisasi terhadap pelajar.Sehingga kadangkala
masyarakat memandang bahwa pendidikan hanyalah sebagai alat untuk mobilitas
sosial dan mempertahankan satatus quo orang-orang kaya.Anak-anak pemilik modal
lebih mendapatkan keistimewaan fasilitas dari pada masyarakat miskin sehingga
timbul pesimisme terhadap netralitas pendidikan.
Pendidikan inklusif didiasarkan pada beberapa
prinsip dasar antara lain:
Pertama, setiap orang secara inheren punya hak
terhadap pendidikan atas dasar kesamaan kesempatan sebagaimana yang diamanatkan
UU, jadi tidakada alasan sekolah untuk menolak pelajar yang miskin.
Kedua, tidak boleh ada siswa yang tereksklusi
dan terdiskriminasi dalam pendidikan dengan berbagai alasan apapun, baik dari
ras, warna kulit, gender, bahasa, agama, politik, difabelitas, dan lain
sebagainya.
Ketiga, semua anak pada dasarnya dapat belajar
dan mendapat manfaat dari pendidikan, sehingga pendidikan bertugas
mengembangkan potensi otak anak.Keempat, sarana dan prasarana disediakan
pemerintah dari pajak.Kelima, pandangan dan opini peserta didik harus
didengarkan dan diperhatikan (demokrasi pendidikan).Keenam, perbadaan individu
merupakan suatu anugrah, sehingga guru harus mencari pendekatan karakteristik
dan kompetensi peserta didik.Ketujuh, pendidikan bukanlah asimilasi tetapi
apresiasi perbedaan, adupun pelaksanaannya dilakukan secara kontinyu bukannya
instan.
Selain itu pendidikan juga harus lebih
mengutamakan langkah praksis dengan mencetak generasi muda yang mandiri
dan dapat mengolah sumberdaya alam serta memproduksi lapangan kerja bukan hanya
mencetak mental pekerja. Kesadaran sosial generasi muda juga perlu ditingkatkan
sebagai wujud pengabdian pendidikan terhadap masyarakat.Mewujudkan pendidikan
yang memanusiakan manusia bukanlah mimpi, jika dilakukan secara kontinyu dan
intensif.
BAB III
KESIMPULAN
Tejadinya menyimpangan kepribadian
pelajar dari norma-norma masyarakat bukanlah murni disebabkan oleh
kesalahan pelajar atau siswa, melainkan penyimpangan ini muncul dari
permasalah multidimensional dalam diri pendidikan itu sendiri. Sehingga dapat
dikatakan penyimpangan dalam diri pelajar ataupun generasi muda, hanyalah
sebagian dampak kecil dari berbagai masalah dalam dunia pendidikan dan bukanlah
pokok penyebab atau persoalan.Sehingga dalam menganalisis pendididkan
diperlukan kesatuan global dari sistem-sistem dalam masyarakat.
Masalah pendidikan di Indonesia bukan saja
karena kualitas intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah
dengan degradasi moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring
perkembangan globalisasi. Tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, dan
tindakan asusila maupun pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia,
bahkan hal ini dapat kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa.
Namun semua itu bukanlah alasan bagi kita untuk cenderung menyalahkan
pendidikan, karena kita sendiri memiliki tanggung jawab yang besar dalam proses
pendidikan.
Dalam memperbaiki maslah pendidikan itu dapat
dilakukan dengan cara mereformasi kurikulum yang lebih merakyat, menyediakan
sarana, prasarana, menjalankan pendidikan antri diskriminasi, dan sebaginya.
Selain itu pendidikan juga diharapkan melaksanakan tugasnya yaitu,
memperjuankan masayarakat dari penindasan dengan menanamkan sikap sadar sosial
dan membangun mentalitas kemandirian anak didik.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin dkk. 2006. Sosiologi
Reflektif. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga
Ritzer, George.
2010. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penerjemah,
alimandan. Jakarta: Rajawali press
Kompas, Rabu 23
Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar
A. Ferry T. Indriarto.
2007. Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan, Visi
2030 dan Pendidikan Alternatif. Jakarta: Kompas
Nuryanto Agus. 2010. Mazhab Pendidikan
Kritis. Yogyakarta: Resist Book
Maragustam,
2010, Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna; Filsafat Pendidiakan.
Yogyakarta: Nuha Litera
[1]Amin Abdullah
dkk, Sosiologi Reflektif (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2006). Hlm
107.
[2]George Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi (New
York: McGraw-Hill, 2004). Hlm 81.
[3]Kompas, Rabu 23
Maret 2010, 88,8 persen sekolah tak lampaui mutu standar.
[4]A. Ferry T.
Indriarto, Kurikulum Identitas Kerakyatan dalam Kurikulum yang Mencerdaskan,
Visi 2030 dan Pendidikan Alternatif (jakarta: Kompas 2007), hlm 108
[5]M. Agus
Nuryanto Mazhab Pendidikan Kritis (Yogyakarta: Resist Book, 2010). HIm.
73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar